Sebut saja namaku Lila, umurku 16 tahun, kelas 2 SMA. Sebagai
anak SMA, tinggiku relatif sedang, 165 cm, dengan berat 48 kg,
dan cup bra 36B. Untuk yang terakhir itu, aku memang cukup
pede. Walau sebenarnya wajahku cukup manis (bukannya
sombong, itu kata teman-temanku …) aku sudah lumayan lama
menjomblo, 1 tahun. Itu karena aku amat selektif memilih pacar…
enggak mau salah pilih kayak yang terakhir kali.
Di sekolah aku punya teman akrab namanya Stella. Dia juga
lumayan cantik, walau lebih pendek dariku, tapi dia sering banget
gonta-ganti pacar. Stella memang sangat menarik, apalagi ia
sering menggunakan seragam atau pakaian yang minim … peduli
amat kata guru, pesona jalan terus!
Saat darmawisata sekolah ke Cibubur, aku dan dia sekamar, dan
empat orang lain. Satu kamar memang dihuni enam orang, tapi
sebenarnya kamarnya kecil bangeeet … aku dan Stella sampai
berantem sama guru yang mengurusi pembagian kamar, dan
alhasil, kami pun bisa memperoleh villa lain yang agak lebih jauh
dari villa induk. Disana, kami berenam tinggal dengan satu
kelompok cewek lainnya, dan di belakang villa kami, hanya
terpisah pagar tanaman, adalah villa cowok.
“Lil, lo udah beres-beres, belum?” tanya Stella saat dilihatnya
aku masih asyik tidur-tiduran sambil menikmati dinginnya udara
Cibubur, lain dengan Jakarta.
“ Belum, ini baru mau.” Jawabku sekenanya, karena masih
malas bergerak.
“ Nanti aja, deh. Kita jalan-jalan, yuk,” ajak Stella santai.
“Boljug…” gumamku sambil bangun dan menemaninya jalan-
jalan. Kami berkeliling melihat-lihat pasar lokal, villa induk, dan
tempat-tempat lain yang menarik. Di jalan, kami bertemu dengan
Rio, Adi, dan Yudi yang kayaknya lagi sibuk bawa banyak barang.
“ Mau kemana, Yud?” sapa Stella.
“Eh, Stel. Gue ama yang lain mau pindahan nih ke villa cowok
yang satunya, villa induk udah penuh sih.” Rio yang menjawab.
“Lo berdua mau bantu, nggak? Gila, gue udah nggak kuat bawa
se-muanya, nih.” Pintanya memelas.
“Oke, tapi yang enteng ajaaa…” jawabku sambil mengambil
alih beberapa barang ringan. Stella ikut meringankan beban Adi
dan Yudi.
Sampai di villa cowok, aku bengong. Yang bener aja, masa iya aku
dan Stella harus masuk ke sana? Akhirnya aku dan Stella hanya
mengantar sampai pintu. Yudi dan Adi bergegas masuk,
sementara Rio malah santai-santai di ruang tamu. “Masuk aja
kali, Stel, Lil.” Ajaknya cuek.
“Ngng… nggak usah, Yud.” Tolakku. Stella diam aja.
“Stella! Sini dong!” terdengar teriakan dari dalam. Aku
mengenalinya sebagai suara Feri.
“ Gue boleh masuk, ya?” tanya Stella sambil melangkah masuk
sedikit.
“ Boleh doooong!!” terdengar koor kompak anak cowok dari
dalam. Stella langsung masuk, aku tak punya pilihan lain selain
mengikutinya.
Di dalam, anak-anak cowok, sekitar delapan orang, kalo Rio yang
diluar nggak dihitung, lagi asyik nongkrong sambil main gitar.
Begitu melihat kami, mereka langsung berteriak girang, “Eh, ada
cewek!! Serbuuuuu!!” Serentak, delapan orang itu maju seolah
mau mengejar kami, aku dan Stella langsung mundur sambil
tertawa-tawa. Aku langsung mengenali delapan orang itu, Yudi,
Adi, Feri, Kiki, Dana, Ben, Agam, dan Roni. Semua dari kelas yang
berbeda-beda.
Tak lama, aku dan Stella sudah berada di antara mereka, bercanda
dan ngobrol-ngobrol. Stella malah dengan santai tiduran
telungkup di kasur mereka, aku risih banget melihatnya, tapi diam
aja. Entah siapa yang mulai, banyak yang menyindir Stella.
“Stell… nggak takut digrepe-grepe lu di atas sana?” tanya Adi
bercanda.
“ Siapa berani, ha?” tantang Stella bercanda juga. Tapi Kiki
malah menanggapi serius, tangannya naik menyentuh bahu Stella.
Cewek itu langsung mem*kik menghindar, sementara cowok-
cowok lain malah ribut menyoraki. Aku makin gugup.
“ Stell, bener ya kata gosip lo udah nggak virgin?” kejar Roni.
“Kata siapa, ah…” balas Stella pura-pura marah. Tapi gayanya
yang kenes malah dianggap seb-agai anggukan iya oleh para
cowok. “Boleh dong, gue juga nyicip, Stell?” tanya Dio.
Stella diam aja, aku juga tambah risih. Apalagi pundak Feri mulai
ditempelkan ke pundakku, dan entah sengaja atau tidak, tangan
Agam menyilang di balik punggungku, seolah hendak merangkul.
Bingung karena diimpit mereka, aku memutuskan untuk tidak
bergerak.
“ Gue masih virgin, Lila juga… kata siapa itu tadi?” omel Stella
sambil bergerak untuk turun dari kasur. Tapi ditahan Roni. “Gitu
aja marah, udah, kita ngobrol lagi, jangan tersinggung.”
Bujuknya sambil mengelus-elus rambut Stella. Aku tahu Stella dulu
pernah suka sama Roni, jadi dia membi-arkan Roni mengelus
rambut dan pundaknya, bahkan tidak marah saat dirangkul
pinggangnya.
“ Lil, lo mau dirangkul juga sama gue?” bisik Agam di telingaku.
Rupanya ia menyadari kalau aku memperhatikan tangan Roni
yang mengalungi pinggang Stella. Tanpa menunggu jawaban,
Agam memeluk pinggangku, aku kaget, namun sebelum protes,
tangan Feri sudah menempel di pahaku yang terbungkus celana
selutut, sementara pelukan Agam membuatku mau tak mau
berbaring di dadanya yang bidang. Teriakan protes dan
penolakanku tenggelam di tengah-tengah sorakan yang lain. Rio
bahkan sampai masuk ke kamar karena mendengar ribut-ribut
tadi.
“ Gue juga mau, dong!” Yudi dan Kiki menghampiri Stella yang
juga lagi dipeluk Roni, sementara Adi, Ben, dan Rio
menghampiriku. Berbeda denganku yang menjerit ketakutan,
Stella malah kelihatan keenakan dipeluk-peluki dari berbagai arah
oleh cowok-cowok yang mulai kegirangan itu.
“ Jangan!” teriakku saat Rio mencium pipi, dan mulai merambah
bibirku. Sementara Ben menjilati leherku dan tangannya mampir
di dada kiriku, meremas-remasnya dengan gemas sampai aku ke-
gelian. Kurasakan genggaman kuat Feri di dada kananku,
sementara Adi menjilati pusarku. Terny-ata mereka telah
mengangkat kaosku sampai sebatas dada. Aku menjerit-jerit
memohon supaya mereka berhenti, tapi sia-sia. Kulirik Stella yang
sedang mendapat perlakuan sama dari Roni, Yudi, dan Kiki,
bahkan Dana telah melucuti celana jins Stella dan melemparnya ke
bawah kasur.
Lama-kelamaan, rasa geli yang nikmat membungkus tubuhku.
Percuma aku menjerit-jerit, akhir-nya aku pasrah. Melihatnya,
Agam langsung melucuti kaosku, dan mencupang punggungku.
Feri dan Rio bahkan sudah membuka seluruh pakaian mereka
kecuali celana dalam. Aku kagum juga melihat dada Feri yang
bidang dan harumnya khas cowok. Aku hanya bisa terdiam dan
meringis nikmat saat dada bidang itu mendekapku dan menciumi
bibirku dengan ganas. Aku membalas ciu-man Feri sambil
menikmati bibir Adi yang tengah mengulum payudaraku yang
ternyata sudah terl-epas dari pelindungnya. Vaginaku terasa
basah, dan gatal. Seolah mengetahuinya, Rio membuka celanaku
sekaligus CDku sehingga aku langsung bugil. Agak risih juga
dipandangi dengan begitu liar dan berhasrat oleh cowok-cowok
itu, tapi aku sudah mulai keenakan.
“ Ssshh…. aaakhh…” aku mendesis saat Adi dan Ben melumat
payudaraku dengan liar. “Mmmh, toket lo montok banget,
Liiiil…” gumam Ben. Aku tersenyum bangga, namun tidak lama,
karena aku langsung menjerit kecil saat kurasakan sapuan lidah di
bibir vaginaku. “Cihuy… Lila emang masih perawan…” Agam
yang entah sejak kapan sudah berada di daerah rahasiaku
menyeringai. “Akkkhh… jangan Gam…” desahku saat
kurasakan kenikmatan yang tiada tara.
“Gue udah kebelet, niih… gue perawanin ya, Lil…” Tak terasa,
sesuatu yang bundar dan keras menyusup ke dalam vaginaku,
ternyata penis Agam sudah siap untuk bersarang disana. Aku
men-desah-desah diiringi jeritan kesakitan saat ia menyodokku
dan darah segar mengalir. “Sakiiit…” erangku. Agam
menyodok lagi, kali ini penisnya sudah sepenuhnya masuk, aku
mulai terbiasa, dan ia pun langsung menggenjot dan menyodok-
nyodok. Aku mengerang nikmat.
“ Ssshh… terusss… yaaa, akh! Akh! Nikmat, Gam! Teruuss…
sayang, puasin gue… Akkkhh…”
Sementara pantat Agam masih bergoyang, cowok-cowok lain
yang sudah telanjang bulat juga mulai berebutan menyodorkan
penis mereka yang sudah tegang ke bibirku.
“ Gue dulu ya, Lil… nih, lu karaoke,” ujar Rio sambil
menyodokkan penisnya ke dalam mulutku. Aku agak canggung
dan kaget menerimanya, tapi kemudian aku mulai mengulumnya
dan mempe-rmainkan lidahku menjelajahi barang Rio. Ia
mendesah-desah keenakan sambil merem-melek. Sementara Ben
masih menikmati buah dadaku, Adi nampaknya sudah mulai
beranjak ke arah Stella yang dikerubuti dan digenjot juga sama
sepertiku. Bedanya, kulihat Stella sudah nungging, ala doggy
style, penis Dana tengah menggenjot vaginanya dan toketnya
yang menggantung sedang dilahap oleh Kiki, sementara mulutnya
mengoral penis Yudi. Stella nampak amat menikm-atinya, dan
cowok-cowok yang mengerumuninya pun demikian. Beberapa
saat kemudian, kulihat Dana orgasme, dan kemudian Rio yang
keenakan barangnya kuoral juga orgasme dalam mulutku, aku
kewalahan dan hampir saja memuntahkan cairannya.
Mendadak, kurasakan vaginaku banjir, ternyata Agam sudah
orgasme dan menembakkan sper-manya di dalam vaginaku,
cowok itu terbaring lemas di sampingku, untuk beberapa menit,
kukira ia tidur, tapi kemudian ia bangun dan menciumi pusarku
dengan penuh nafsu. Kini, vaginaku suda-h diisi lagi dengan penis
Beni. Penisnya lebih besar dan menggairahkan, sehingga
membuat mata-ku terbelalak terpesona. Beni menyodokkan
penisnya dengan pelan-pelan sebelum mulai mengg-enjotku,
rasanya nikmat sekali seperti melayang. Kedua kakiku menjepit
pinggangnya dan bongka-han pantatku turut bergoyang penuh
gairah. Kubiarkan tubuhku jadi milik mereka.
“ Akkkhh…. ssshh… terus, teruuusss sayaaang… akh, nikmat,
aaahhh…” erangku keenakan. Tok-etku yang bergoyang-
goyang langsung ditangkap oleh mulut dan tangan Rio. Ia
memainkan puting susuku dan mencubit-cubitnya dengan gemas,
aku semakin berkelojotan keenakan, dan meracau tidak jelas,
“ Akkkhh… teruuuss… entot gue, entooott gue teruuss! Gue milik
luu… aakhh…!!”
“Iya sayyyaangg… gue entot lu sampe puasss…” sahut Ben
sambil mencengkeram pantatku dan mempercepat goyangan
penisnya. Rio juga semakin lahap menikmati gunung kembarku,
menjilat, menggigit, mencium, seolah ingin menelannya bulat-
bulat, dan sebelum aku sempat meracau lagi, Agam telah
mendaratkan bibirnya di bibirku, kami saling berpagutan penuh
gairah, melilitkan lidah dengan sangat liar, dan klimaksnya saat
gelombang kenikmatan melandaku sampai ke puncaknya.
“ Aaakkhh…. gue mau…!” Belum selesai ucapanku, aku
langsung orgasme. Ben menyusul beber-apa saat kemudian, dan
vaginaku benar-benar banjir. Tubuh Ben langsung jatuh dengan
posisi penisnya masih dalam jepitan vaginaku, ia memeluk
pinggangku dan menciumi pusarku dengan lemas. Sementara aku
masih saja digerayangi oleh Agam yang tak peduli dengan
keadaanku dan meminta untuk dioral, dan Rio yang menggosok-
gosokkan penisnya di toketku dengan nikmat.
Beberapa saat kemudian, Agam pun orgasme lagi. Agam jatuh
dengan posisi wajah tepat di sampingku, sementara Rio tanpa
belas kasihan memasukkan penisnya ke vaginaku, dan mengge-
njotku lagi sementara aku berciuman penuh gairah dengan Agam.
Selang beberapa saat Rio org-asme dan jatuh menindihku dengan
penis masih menancap, ia memelukku mesra sebelum kemud-ian
tertidur. Aku sempat mendengar erangan nikmat dari arah Stella,
sebelum akhirnya benar-benar tertidur kecapekan, membiarkan
Beni dan Agam yang masih menciumi sekujur tubuhku.
Selama tiga hari kami disana, kami selalu melakukannya setiap
ada kesempatan. Sudah tak ter-hitung lagi berapa kali penis
mereka mencumbu vaginaku, namun aku menikmati itu semua.
Bahk-an, bila tak ada yang melihat, aku dan Stella masih sering
bermesraan dengan salah satu dari mereka, seperti saat aku
berpapasan dengan Agam di tempat sepi, aku duduk di
pangkuannya sementara tangannya menggerayangi dadaku, dan
bibirnya berciuman dengan bibirku, dan penis-nya menusuk-
nusukku dari bawah. Sungguh pengalaman yang mendebarkan
dan penuh nikmat —tubuhku ini telah digauli dan dimiliki
beramai-ramai, namun aku malah ketagihan.